Arina memergoki Sandi, calon suaminya menginap di rumah sepupunya. Tak lama berselang, Bibinya datang menangis-nangis meminta agar pernikahan Arina dan Sandi yang sudah di depan mata, dibatalkan. Alasannya begitu membuat Arina terpukul. Sandi, sudah meniduri Mia, sepupunya. Sejak saat itulah, Arina tak percaya lagi pada lelaki. Hingga akhirnya, Arina mendapat julukan perawan tua. Nasib malang, tak berhenti sampai disitu. Bapak Arina yang sudah tua menjodohkannya dengan bujang lapuk dari gunung. Lelaki yang sudah berusia empat puluh tahunan itu memang memiliki wajah tampan, tetapi sangat kampungan dan terlihat pemalu. Arina menerima nasib itu dengan pasrah. Gunjingan dari para tetangga pun semakin menjadi. Namun, rupanya semua kemalangan itu tak bertahan lama. Bujang lapuk yang dianggap kampungan itu, bertubi-tubi memberikan kejutan yang membuat Arina kini selalu disanjung dan dikatakan sebagai perempuan yang sangat beruntung. Sebenarnya, apakah kejutan yang diberikan suami lugunya itu?
View MoreAku sedang sibuk merekam ketika kudengar suara seseorang menyapa. “Arin? Sehat, Rin?” tanyanya, lalu tanpa aba-aba, satu kursi sudah berpindah ke sisi kiriku yang memang paling tepi. Aku menelan saliva ketika menoleh dan terlihat sosok yang ingin aku hindari, kini sudah ada di sana.“Firman?” Reflek aku menurunkan rekaman pada sang komika. Lalu kutekan tombol matikan. Sudah dapat agak panjang juga. “Aku kira kamu gak datang tadi, Rin? Sempat kaget pas lihat Sandi sama Mia. Ikut sedih, ya!” Dia bertutur sambil tersenyum. “Oh, gak perlu sedih. Aku sudah Ikhlas.” Aku menjawab seperlunya. Kulirik Mas Reza, dia tampak tengah menunduk, diam tanpa kata. “Syukurlah … aku juga lagi sedih. Baru ditinggal almarhum istriku, Rin.” “Wah, turut berduka, Firman.” “Iya, Rin. Sudah gitu, yang bikin aku makin sedih lagi, kami punya anak balita. Dia diurus Ibuku sekarang. Dia selalu nanyain mendiang mamanya. Makanya balik ke sini, sekalian mau nyariin dia mama baru.” “Yang sabar ya, Fir.” Aku mel
Pagi itu, kami sudah rapi. Acara reuninya diadakan hari minggu. Mas Reza sudah libur dari tempat kulinya, dia terlihat bersemangat sekali. Dia menurut memakai pakaian apa saja yang kupilih. Kemarin waktu menukar sepatu, aku membelikannya celana jeans dan kaos. Melihat dia memakai kemeja, terlihat terlalu resmi. Akhirnya aku membelikannya baju lainnya lagi. Setelah dari toko pakaian, kami ke tempat pangkas rambut. Rambut ikal Mas Reza yang sudah agak panjang, kini dipangkas rapi. Jadi, hari ini … untuk penampilannya sudah terlihat sempurna. Jadi hari ini, Mas Reza mengenakan sepatu warna hitam, celana jeans warna biru gelap dan kaos warna army. Tubuhnya terlihat gagah dan maskulin. Kenapa jadi makin tampan, ya? Sementara itu, aku mengenakan gamis warna army juga dengan kerudung senada, sengaja kupilih yang warnanya sama biar keliatan kami ini pasangan. Hanya saja memang sikapnya ya tetap sama, seperti malu-malu kucing. Dia pun terlihat gak percaya diri dengan penampilannya saat ini.
Aku hanya menggeleng. Penjaga toko itu menarik napas kasar. Dia lalu menyebutkan total yang harus aku bayar. Lekas aku memberikan uang sejumlah yang dia sebutkan, lalu bergerak pulang. Hanya saja baru aku hendak mendorong pintu kaca, aku terkejut ketika melihat sosok yang begitu familiar sedang berjalan ke arah sini.“F--Firman?” lirihku menggumam. Namun, reflek aku memutar tubuh agar membelekanginya, ketika lelaki bertubuh jangkung itu mendorong pintu kaca. Dia berjalan lurus dan syukurlah tak menoleh ke arahku. Fiuh, selamat. Firman? Kenapa tiba-tiba dia muncul di sini? Bukankah dia sudah pergi ke Kalimantan semenjak aku memutuskan untuk menerima Sandi dan menolaknya. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Hanya mendengar selentingan jika dia sudah menikah di Kalimantan sana. Masih teringat jelas ketika hari itu dia berpamitan.“Selamat ya, San! Ternyata lo yang dia pilih! Gue titip dia. Jangan pernah sakitin dia atau lo harus berhadapan dengan gue.” “Lo tenang
“Ooo … syukurlah, Mbak. Kirain lihat-lihat mau buat rumah kayak gini juga. Secara suami Mbak Arin kadang aneh, tiba-tiba punya duit banyak walau gak kerja. Ini M M an loh, Mbak. Milyar. Mungkin tabungannya gak akan sampe juga, ya? Paling banter punya seratus jutaan ‘kan? Itu pun pasti sudah habis ‘kan buat beli perhiasan sama perabotan kemarin itu? Aku cuma kasihan saja sama kamu, Mbak. Cita-citanya sederhana dulu saja. Mending ngontrak dulu saja, Mbak kalau mau misah sama orang tua. Ada kok kontrakan di dekat jalan raya sana yang kemarin aku baca mau disewakan!”Heran, sesibuk itu Mia mengurusi hidup kami. Aku juga gak peduli dia mau bikin rumahnya seperti apa. Kenapa dia malah sibuk ngatur-ngatur aku harus gini dan gitu. Jadinya aku malah berharap kalau beneran Mas Reza bakal ngasih kejutan lagi, biar mulutnya Mia gak berkutik lagi dan diam.“Iya, makasih, Mia.” Sebelku pun bertambah ketika dia malah berterima kasih pada Mia. Apa sih Mas Reza ini, ish. “Iya, Mas. Sama-sama. Oh iya
“Oh, kalau ini kami dapatkan borongan satu M lebih, Mbak. Soalnya kayak keramik saja, dirombak total pake marmer yang mahal. Terus kayu-kayu kusen juga diganti semua pakai yang paling bagus!” tuturnya menjelaskan. Aku hampir tergelak ketika melihat ekspresi wajah Mia. Persis seperti orang kehabisan napas ketika mendengar angka yang disebutkan oleh lelaki itu. Hanya saja tepukan pada pundak, membuatku menoleh. “Adek!” “Eh, Mas. Aku cariin dari tadi.” Mia dan lelaki itu menoleh karena suara kami. Aku bisa melihatnya dengan ekor mataku. “Mbak Arin! Tumben ke sini?” tanya Mia. Dia tergesa meninggalkan lelaki yang tadi dan mendekat ke arah kami.“Iya, ini lagi masak banyak. Buat Mas Reza. Kamu lagi ngapain di sini, Mi?” tanyaku.“Ooo … suami kesayangan ceritanya, ampe dibekelin makan kayak anak TK. Aku lagi cari inspirasi, Mbak. Abisnya warga heboh banget katanya rumah bekas Pak Lurah direnov mewah banget.” “Ooo … mau rombak rumah kamu lagi, Mi? Bukannya baru kelar kemarin?” “Iya, M
“Kalau nanti Mas ada rejeki, Adek mau dibeliin rumah kayak gimana?” tanyanya. “Gak tahu, Mas. Belum kepikiran. Yang penting nyaman saja ditinggali.” “Oke, Dek.” “Mas mau beliin Adek rumah? Adek gak mau jauh-jauh dari Ibu sama Bapak, Mas.” “Oh gak jauh, kok, Dek.” “Gak jauh? Maksudnya?” “Ahm, anu … maksudnya, nanti nyari rumahnya yang gak jauh, Dek.” Hening lagi. Kami sudah melewati rumah bekas Pak Lurah yang sudah membuat seluruh warga heboh karena, katanya sedang dipasang lift. Hanya saja, tampilan luarnya terlihat biasa saja. Masih sama dengan model rumah yang dulu. Cuma saja terlihat cat dan gentingnya baru, itu saja.“Mas rumahnya kelihatannya biasa ya padahal, Cuma memang luas saja dan dua lantai. Tapi yang pada lihat ke dalam pada heboh, katanya dalemnya mewah. Adek jadi pengen lihat!” tuturku. “Oh, ya sudah siang nanti Mas jemput. Adek mau lihat-lihat?” “Ish, malu lah, Mas.” “Gak apa-apa, Dek. Mia juga sering ke sana. Hampir tiap hari, Dek.” Deg!Hatiku berdentum. Mi
“Kok Adek tahu?” tanyanya heran.“Tadi pas nomor Asri nelepon, itu … muncul gambar Mas sama anak kecil di foto profilnya. A—Apa Mas … hmmm … masih ada hubungan sama dia?” tanyaku ragu. Namun, aku benar-benar ingin mendapatkan jawaban dari Mas Reza.“Iya, Dek.” Astaghfirulloh … hatiku mencelos luar biasa ketika mendengar jawaban itu dari dia. Rasanya mataku memanas dan mungkin kini sudah berkaca-kaca.“L—Lalu … Mas anggap aku ini apa, Mas?” lirihku dengan sisa-sisa tenaga. “Loh, Adek ‘kan istrinya, Mas? Kok nanyanya gitu, sih?” Mas Reza menatap wajahku lekat. Alis tebalnya saling bertaut. Wajahnya tampak kaget mendengar pertanyaanku. Ish, dasar cowok! “Buat apa aku dijadikan istri, kalau Mas masih ada hubungan sama Asri.” Aku bicara sambil membuang muka. Aku membelakangi Mas Reza, memberengut dan bersedekap angkuh. “Loh, loh, loh, Dek. Kenapa Adek sangkut-sangkutin status Adek sama hubungan Mas? Asri orang tua tunggal, Dek. Kasihan kalau nggak boleh kerja di kebun Mas.”Aku bergemi
AsriNama itu muncul pada layar bersama foto profil yang membuat hati berdentum cepat. Itu ‘kan foto Mas Reza tengah memangku anak kecil dan pakaian itu, adalah pakaian yang tadi dia kenakan pas datang. “A—apakah ini alasan Mas Reza pulang telat? Dia mampir ke tempat Asri dan sibuk bermain dengan anaknya?” Seketika, rasa panas, sesak, kesal dan semuanya bercampur baur dalam hati. Perlahan tangan ini mengambil benda pipih itu, lalu mengusap tombol berwarna hijau untuk mengangkat panggilan. Mau apa dia mencari Mas Reza?Tepat ketika kutekan tombol hijau. Panggilan itu malah terputus. Jadinya kubengong menatap layar. Padahal aku sudah siap bicara panjang lebar. Kutunggu-tunggu, tak lagi telepon itu berdering. Ingin rasanya kutelepon balik, tapi aku belum seberani itu menggunakan barang-barang Mas Reza tanpa izin dulu. Aku yang sebal. Kuambil ponsel Mas Reza itu dan kumasukkan ke dalam laci. Lalu, aku bergabung dengan Ibu menonton televisi. Meskipun, pikiran masih berlarian dan sibuk m
Sepulang dari tempat Mia, aku tak bisa tidur lelap. Ketiadaan Mas Reza membuatku merasa ada yang kurang. Berulang kali kutatap layar ponsel. Kuambil benda pipih itu, kuusap, lalu kuletakkan lagi. Aku berharap, Mas Reza menghubungi. Namun hingga waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tak ada lagi panggilan masuk ataupun pesan.[Mas, kamu nginep lagi di sana, ya?]Pesan terkirim, tapi tak ada balasan. Bahkan tampak, Mas Reza belum membacanya. Kuhela napas kasar, lalu kusimpan lagi gawai. Kumiringkan posisi tubuh dan menatap karpet tempat Mas Reza berbaring yang kini kosong. Biasanya ketika kuterjaga, aku suka diam-diam mengamati pahatan wajahnya yang kurasa sempurna. Hidung bangir, alis tebal, rambutnya yang agak ikal. Mas, kamu lagi ngapain sebenernya? Akhirnya meskipun susah payah, rupanya aku tertidur juga. Pas suara adzan terdengar, aku mengerjap. Biasanya punggung lebar Mas Reza masih terduduk di atas sajadah kulihat. Cuma sekarang gak ada. Biasanya, usai shalat malam, di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.